Demokrasi Liberal 1950-1959



Kelas      :  XI IPA 3
B. Study : Sejarah
DEMOKRASI LIBERAL 1950-1959

Pada masa Demokrasi Liberal yang dimulai tahun 1950 hingga 1959, diwarnai dengan adanya munculnya partai-partai yang saling berebut untuk menduduki kabinet. Pada masa ini ada dua partai yang sangat menonjol dalam percaturan politik yaitu PNI dan Masyumi. Sehingga masa ini diidentifikasikan dengan masa jatuh bangunnya kabinet.
Masa Demokrasi Liberal kepemimpinan negara diatur menurut Undang-undang Dasar yang bertanggung jawab kepada parlemen. Dan kabinet disusun menurut pertimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen dan sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh wakil-wakil partai itu.
Sebelum melanjutkan kegiatan belajar berikutnya peserta diharapkan mempelajari masa Demokrasi Liberal.
1. Arti Sistem Demokrasi Liberal
Suatu bentuk sistem politik dan pemerintahan yang bersendikan pada asas-asas liberalisme yang ada dan berkembang di Eropa dan Amerika Serikat. Di Indonesia sistem Demokrasi Liberal berlangsung sejak tahun 1950 sampai tahun 1959 saat dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada masa ini perrgantian kabinet dilatarbelakangi oleh perbedaan yang tajam antara partai-partai melawan partai yang memerintah. Bahkan pernah terjadi partai menjatuhkan kabinetnya sendiri.
2. Kondisi Politik Masa Demokrasi Liberal
Masa Liberal di Indonesia (1950-1959) biasa pula disebut masa kabinet parlementer. Kabinet parlementer adalah kabinet yang pemerintahan sehari-hari dipegang oleh seorang Perdana Menteri. Dalam masa Kabinet Parlementer ini ternyata konflik partai di Indonesia sangat tinggi sehingga kabinet terpaksa jatuh bangun.
Kabinet disusun berdasarkan pertimbangan kekuatan kepartaian. Karena itu bila dianggap tidak berhasil, sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan. Sehubungan dengan itu pada masa Demokrasi Liberal sering terjadi pergantian kabinet. Hal ini terjadi terutama karena sering terjadi konflik di antara partai-partai politik. Sebagai contoh pertentangan antara Masyumi dan PNI. Pertentangan antara kedua partai besar ini dalam parlemen tidak pernah dapat didamaikan sehingga menjadi berlarut-larut.
Seringnya pergantian kabinet membuat masa yang singkat itu (1950-1959) dikuasai oleh beberapa kabinet. Kabinet-kabinet tersebut adalah : Kabinet Natsir (Masyumi 1950-1951), Kabinet Sukiman (Masyumi 1951-1952), Kabinet Wilopo (1952-1953), Kabinet Ali Sastroamidjojo I (PNI 1953-1955), Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi 1955-1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957), dan akhirnya Kabinet Djuanda (Zaken kabinet 1957-1959).
Jatuh bangunnya kabinet pada masa Demokrasi Liberal disebabkan karena adanya konflik antara partai politik. Misalnya Kabinet Natsir jatuh karena PNI menentang kebijakannya mengenai Irian Jaya. Konflik partai Masyumi dan PNI ini dimenangkan oleh Masyumi dan menjadikan kabinet Sukiman berkuasa.
Kabinet Sukiman tidak berlangsung lama karena ia dijatuhkan oleh PNI. Partai Nasional Indonesia menentang penandatanganan program bantuan Amerika Serikat kepada pemerintah RI. Alasan penolakannya adalah karena bantuan itu dapat dipakai sebagai alat untuk memasukkan RI ke dalam Blok Amerika Serikat. Dengan demikian menurut PNI, Indonesia tidak bersikap bebas aktif lagi dalam melihat “Perang Dingin” antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat.
Untuk mengurangi konflik antara PNI dan Masyumi itu Presiden menunjuk tokoh moderat dari PNI untuk memimpin Kabinet, maka terbentuklah Kabinet Wilopo (1952-1953). Kabinet ini bertugas mengadakan persiapan pemilihan umum dan pembentukan dewan konstituante. Namun sebelum tugas ini dapat diselesaikan, kabinet inipun harus meletakkan jabatan. Hal ini disebabkan karena daerah-daerah makin tidak percaya kepada pemerintah pusat. Di samping itu terjadi “peristiwa 17 Oktober 1952”, yaitu desakan dari pihak-pihak tertentu agar Presiden segera membubarkan Parlemen yang tidak mencerminkan keinginan rakyat.
Peristiwa 17 Oktober 1952 dimanfaatkan oleh TNI-AD untuk kepentingan politiknya. Golongan yang dipimpin Kol. Bambang Sugeng itu tidak menyetujui Kol. A.H. Nasution sebagai KASAD. Sekelompok partai dalam parlemen menyokong dan menuntut agar diadakan perombakan pimpinan Kementerian Pertahanan dan TNI.
Keterlibatan partai dianggap oleh pimpinan TNI sebagai campur tangan sipil dalam urusan tentara. Oleh karena itu mereka menuntut agar Presiden membubarkan Parlemen. Presiden menolak tuntutan ini sehingga KASAD maupun KSAP meletakkan jabatan. Mandat pembentukan kabinet tetap diserahkan kepada PNI. Dalam suasana konflik politik itu, Ali Sastroamidjojo terpilih untuk memimpin kabinet.
Tugas Kabinet Ali Sastroamidjojo adalah melanjutkan program kabinet Wilopo, yaitu antara lain melaksanakan Pemilihan Umum untuk memilih DPR dan Konstituante.
Meskipun Kabinet Ali Sastroamidjojo berhasil dalam politik luar negeri yaitu, dengan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung dalam bulan April 1955, namun Kabinet Ali Sastroamidjojo harus meletakkan jabatan sebelum dapat melaksanakan tugas utamanya yaitu pemilu, alasannya karena pimpinan TNI-AD menolak pimpinan baru yang diangkat Menteri Pertahanan. Hal ini sebenarnya yang berpangkal pada peristiwa 17 Oktober 1952. Calon pimpinan TNI yang diajukan Kabinet ini ditolak oleh Korps perwira sehingga menimbulkan krisis kabinet.
Pada saat itu Presiden Soekarno akan berangkat ke tanah Suci Mekah. Sebelum berangkat Presiden mengangkat tiga orang untuk menjadi formatur kabinet, yaitu Sukiman (Masyumi), Wilopo (PNI), dan Asaat (non partai). Namun ketiga orang ini tidak berhasil membentuk kabinet hingga terpaksa mengembalikan mandatnya pada Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta. Hatta kemudian menunjuk Burhanuddin Harahap dari Masyumi untuk membentuk kabinet.
Kabinet Burhanudin (1955-1956), ditugaskan untuk melaksanakan pemilihan umum. Usaha ini berhasil sekalipun mengalami kendala-kendala yang berat. Pada tanggal 29 September 1955 pemilihan anggota-anggota parlemem dilakukan, dan pada tanggal 15 Desember 1955 diadakan pemilihan umum untuk Konstituante. Setelah itu kabinet Burhanudin meletakkan jabatan dan kemudian dibentuk kabinet baru yang sesuai dengan hasil pemilihan umum.
Selain masalah pemilihan umum Kabinet Burhanuddin juga berhasil menyelesaikan masalah TNI-AD dengan diangkatnya kembali Kol. A.H.
Nasution sebagai KASAD pada bulan Oktober 1955. Selain itu dalam politik luar negeri kabinet ini condong ke barat dan berusaha mengadakan perundingan dengan Belanda mengenai soal Irian Barat.
Hasil pemilihan umum 1955 menunjukkan PNI adalah partai yang terkuat. Oleh sebab itu presiden mengangkat seorang formatur kabinet dari PNI yaitu Ali Sastoramidjojo. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957) adalah kabinet koalisi antara PNI dan Masyumi. Kabinet ini mempunyai rencana kerja untuk lima tahun. Rencana kerja ini disebut rencana lima tahun. Isinya antara lain adalah perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat dalam wilayah RI. Otonomi daerah, mengusulkan perbaikan nasib buruh, penyehatan keuangan, dan pembentukan Dewan Ekonomi Nasional.
Sementara program berjalan timbul masalah-masalah baru. Pertama kegagalan dalam memaksa pihak Belanda agar menyerahkan Irian Barat dan pembatalan perjanjian KMB. Kedua, berkembangnya masalah anti Cina di kalangan rakyat yang tidak senang melihat kedudukan istimewa golongan ini dalam perdagangan. Sehingga perkelahian dan pengrusakan terjadi di beberapa kota. Ketiga di beberapa daerah timbul perasaan tidak puas terhadap pemerintah pusat. Hal ini menimbulkan terjadinya pergolakan di beberapa daerah.
Pergolakan daerah itu mendapat dukungan dari beberapa panglima TNI-AD, mereka merebut kekuasaan di daerah dengan cara membentuk Dewan Banteng di Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956, Dewan Gajah di Sumatera Utara pada tanggal 22 Desember 1956. Dewan Garuda di Sumatera Selatan dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
Untuk mengatasi keadaan ini Presiden mengumumkan berlakunya undang-undang SOB (negara dalam keadaan bahaya) dan angkatan perang mendapat wewenang khusus untuk mengamankan negara di seluruh Indonesia. Tetapi usaha Presiden untuk mempengaruhi partai-partai agar mau membentuk kabinet baru ternyata gagal. Sebab itu ia mengangkat Ir. Djuanda yang tidak berpartai sebagai formatur kabinet.
Kabinet Djuanda (1957-1959) bertugas menyelesaikan kemelut dalam negeri, selain memperjuangkan kembalinya Irian Barat dan menjalankan pembangunan. Pertama-tama kabinet ini membentuk suatu Dewan Nasional yang bertugas memberi nasehat kepada pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya. Di samping itu, diadakan musyawarah nasional untuk mencari jalan keluar dari kemelut nasional. Sebelum musyawarah itu menghasilkan keputusan terjadi “Peristiwa Cikini”, yaitu percobaan pembunuhan Presiden.
Pada tanggal 10 Februari 1958, Ketua Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum agar Kabinet Djuanda dibubarkan dalam waktu lima kali 24 jam. Presiden ternyata tidak menghiraukan hal ini sehingga akhirnya Dewan Banteng memproklamasikan berdirinya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Begitu pula di Sulawesi dibentuk pemerintahan sendiri yaitu Permesta. Hal itu membuat situasi negara semakin mengkhawatirkan.
3. Kondisi Ekonomi Pada Masa Liberal
Sesudah Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949, KMB membebankan pada Indonesia hutang luar negeri sebesar Rp 2.800 juta. Sementara ekspor masih tergantung pada beberapa jenis hasil perkebunan saja.
Masalah jangka pendek yang harus diselesaikan oleh pemerintah adalah : (a) mengurangi jumlah uang yang beredar dan (b) mengatasi kenaikan biaya hidup. Sedangkan masalah jangka panjang adalah pertambahan penduduk

dan tingkat hidup yang rendah. Dari sisi moneter difisit pemerintah sebagian berhasil dikurangi dengan pinjaman pemerintah pada 20 Maret 1950. Jumlah itu didapat dari pinjaman wajib sebesar Rp 1,6 milyar. Kemudian dengan kesepakatan Sidang Menteri Uni Indonesia-Belanda, diperoleh kredit sebesar Rp 200.000.000,00 dari negeri Belanda. Pada 13 Maret 1950 di bidang perdagangan diusahakan untuk memajukan ekspor dengan sistem sertifikat devisa. Tujuan pemerintah adalah untuk merangsang ekspor. Keadaan sedikit membaik tahun 1950. Ekspor Indonesia menjadi 187% pada bulan April 1950, 243% pada bulan Mei atau sejumlah $ 115 juta.
Selain itu diupayakan mencari kredit dari luar negeri terutama untuk pembangunan prasarana ekonomi. Menteri Kemakmuran Ir. Djuanda berhasil mendapatkan kredit dari Exim Bank of Washington sejumlah $ 100.000.000. Dari jumlah tersebut direalisasi sejumlah $ 52.245.000. Jumlah ini untuk membangun proyek-proyek pengangkutan automotif, pembangunan jalan, telekomunikasi, pelabuhan, kereta api, dan perhubungan udara. Namun demikian sejak 1951 penerimaan pemerintah mulai berkurang lagi, karena menurunnya volume perdagangan internasional. Indonesia dengan ekonomi agrarianya memang tidak memiliki barang-barang ekspor lain kecuali hasil perkebunan.
Upaya perbaikan ekonomi secara intensif diawali dengan Rencana Urgensi Perekonomian (1951) yang disusun Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo di masa Kabinet Natsir. Sasaran utamanya adalah industrialisasi. Setahun kemudian, pada zaman Kabinet Sukiman, pemerintah membentuk Biro Perancang Negara yang berturut-turut dipimpin oleh Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Ir. Djuanda, dan Mr. Ali Budiardjo. Pada tahun 1956 badan ini menghasilkan suatu Rencana Pembangunan Lima Tahun (1956-1960) dan untuk melaksanakannya, Ir. Djuanda diangkat sebagai Menteri Perancang Nasional. Pembiayaan RPLT ini diperkirakan berjumlah Rp 12,5 milyar, didasarkan harapan bahwa harga barang dan upah buruh tidak berubah selama lima tahun. Ternyata harga ekspor bahan mentah Indonesia merosot. Hal ini mendorong pemerintah untuk melaksanakan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia pada bulan Desember 1957.
Sementara itu, ketegangan politik yang timbul akibat pergolakan daerah ternyata tidak dapat diredakan dan untuk menanggulanginya diperlukan biaya yang besar, sehingga mengakibatkan meningkatnya defisit. Padahal ekspor justru sedang menurun. Situasi yang memburuk ini berlangsung terus sampai tahun 1959.
Dalam bidang ekonomi satu fenomena moneter yang paling terkenal pada periode ini adalah pemotongan mata uang rupiah menjadi dua bagian. Penggunti-ngan uang ini terkenal dengan sebutan “gunting Syafrudin”. Tujuan dari penggun-tingan uang ini adalah untuk menyedot jumlah uang beredar yang terlalu banyak, menghimpun dana pembangunan dan untuk menekan defisit anggaran belanja.
4. Upaya Membangun Pengusaha Nasional
Sejak awal kemerdekaan telah ditempuh upaya untuk membangkitkan suatu golongan pengusaha nasional yang tangguh. Pemikiran ke arah itu dipelopori oleh Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo yang berpendapat bahwa bangsa Indonesia harus selekas mungkin memiliki suatu golongan pengusaha. Para pengusaha bangsa Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah, perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam membangun ekonomi nasional. Pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha itu, terutama pendidikan konkret atau dengan bantuan


Demokrasi Terpimpin merupakan bagian dari sejarah pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Sistem ketatanegaraan Indonesia sejak masa awal kemerdekaan tahun 1945 hingga tahun 1966 terus mengalami perubahan, begitu pula dengan sistem politik yang digunakan. Perubahannya ditunjukkan melalui perubahan konstitusi dan sistem demokrasi yang diberlakukan saat itu (sebelum Demokrasi Terpimpin Indonesia pernah menjalankan demokrasi Parlementer).
Salah satu perubahan konstitusi ini kemudian membentukDemokrasi Terpimpin yang lahir dari peralihan periode UUDS 1950 ke penggunaan kembali UUD 1945 yang disebabkan oleh kegagalan konstituante dalam membentuk undang-undang dasar tetap.
Kegagalan konstituante dalam membentuk undang-undang dasar tetap selama dua setengah tahun, dikhawatirkan berdampak buruk bagi stabilitas nasional kala itu, potensi perpecahan akan terus meningkat jika negara tidak memiliki konstitusi yang jelas. Oleh karena itu, pada 22 April 1959 Presiden Soekarno atas nama pemerintah dalam sidang menganjurkan konstituante menyatakan UUD 1945 sebagai undang-undang dasar tetap bagi Negara Republik Indonesia.
Pernyataan tersebut akhirnya disampaikan melalui Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang didukung oleh TNI, dibenarkan oleh Mahkamah Agung dan DPR serta disambut baik masyarakat Indonesia. Dekret ini berisi ketentuan pokok yaitu :
·         Menetapkan pembubaran konstituante
·         Menetapkan bahwa UUD 1945 berlaku kembali bagi segenap bangsa Indonesia
·         Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)
Penetapan Dekret Presiden 5 Juli 1959 ini menjadi titik awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin pada pelaksanaannya seharusnya didasarkan pada penafsiran dari sila keempat Pancasila, yaitu dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dengan demikian, Demokrasi Terpimpin dilaksanakan dengan tetap menggunakan sistem perwakilan yang menjunjung tinggi musyawarah dan kebijaksanaan dalam menghadapi permasalahan negara.
Melalui dasar pelaksanaan ini, diharapkan Demokrasi Terpimpin menjadi bentuk demokrasi Indonesia yang mampu membangun sistem politik dan kenegaraan yang mapan. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dipimpin oleh Presiden Soekarno pemegang kekuasaan eksekutif  yang disebut-sebut sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
Gagasan Demokrasi Terpimpin sebenarnya sudah mulai dicetuskan oleh Presiden Soekarno sejak 1956, dan pada 1957 Presiden Soekarno mengusulkan pembentukan Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional yang salah satu tujuannya adalah untuk menyatukan partai-partai yang saat itu berjumlah cukup banyak.
Gagasan ini pada awalnya ditolak oleh partai-partai besar seperti Masyumi, Nahdathul Ulama, dan Serikat Islam karena kepartaian merupakan wujud demokrasi, hanya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mendukung gagasan tersebut. Ide Presiden Soekarno mengenai Demokrasi Terpimpin baru terwujud setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem pemerintahan pun berganti menjadi Sistem Presidensial.
Sistem ini menggantikan sistem parlementer yang dianggap terlalu liberal. Dengan berlakunya sistem ini, Presiden Soekarno merupakan pemimpin pemerintahan dan bertindak sebagai kepala negara serta membentuk Kabinet Kerja yang menteri-menterinya tidak terikat kepada partai.
Demokrasi Terpimpin di Tangan Soekarno
Presiden Soekarno sebagai pemilik ide Demokrasi Terpimpin yang diajukannya, pada pelaksanaannya ternyata memiliki penafsiran sendiri yang berbeda mengenai dasar dan makna Demokrasi Terpimpin yang terletak pada kata ‘terpimpin’.
Menurutnya, Demokrasi Terpimpin ditafsirkan dengan ‘pimpinan terletak di tangan Pemimpin Besar Revolusi’. Hal ini kemudian merujuk pada pemusatan kekuasaan yang dipegang oleh Presiden Soekarno. Pemusatan kekuasaan yang mutlak pada presiden ini bertentangan dengan isi Undang-Undang Dasar 1945 saat itu yang menyatakan bahwa presiden merupakan mandataris MPR, dengan demikian presiden berada di bawah MPR.
Selain itu, dalam Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno mengangkat anggota MPRS dan menentukan apa saja yang harus diputuskan oleh MPRS. Presiden Soekarno juga melakukan tindakan seperti menetapkan Manipol (Manifesto Politik) sebagai GBHN yang ditetapkan dalam Pen-Pres No.1 Tahun 1960, pembubaran DPR hasil Pemilu (Pen-Pres No.3 Tahun 1960), pembentukan DPR Gotong Royong untuk menggantikan DPR hasil pemilu 1955 (Pen-Pres No.4 Tahun 1960), dalam penggantian ketua, wakil, dan anggota DPR GR Presiden Soekarno memutuskannya sendiri melalui Pen-Pres tanpa meminta persetujuan lembaga legislatif.
Dalam Buku Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (Pringgodigdo), terangkum penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Demokrasi Terpimpin sebagai berikut.
·         Menafsirkan Pancasila secara terpisah-pisah, tidak dalam kesatuan bulat dan utuh.
·         Pengangkatan presiden seumur hidup dan banyaknya jabatan yang rangkap.
·         Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu 1955.
·         Konsep Pancasila berubah menjadi konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis)
·         Bergesernya makna Demokrasi Terpimpin disebabkan karena dalam pelaksanaannya pemusatan kekuasaan pada presiden/pemimpin besar revolusi cenderung terjadi.
·         Pelaksanaan politik bebas aktif yang cenderung memihak komunis.
·         Manipol USDEK (manifesto politik, undang-undang dasar, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia) dijadikan GBHN tahun 1960. USDEK dibuat oleh presiden sedangkan GBHN harus dibuat oleh MPR.
Dengan adanya kondisi yang demikian menunjukkan bahwa UUD 1945 tidak dilaksanakan dengan murni dan konsekuen dalam sistem Demokrasi Terpimpin tersebut, akibatnya terjadi ketidakstabilan politik dan ketatanegaraan. Perpecahan, pemberontakan dan konflik pun terjadi, beberapa pemberontakan daerah menginginkan untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberontakan yang dilakukan semasa Demokrasi Terpimpin merupakan pemberontakan militer yang didasari oleh rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintahan yang berkuasa saat itu. Pemerintahan Presiden Soekarno dianggap tidak dapat mengayomi masyarakat karena kondisi ekonomi masih saja memburuk, pembangunan yang dijanjikan tidak juga terwujud, pemerintah hanya sibuk mengurusi kehidupan politik dengan pergantian-pergantian sistem dan kabinet-kabinet yang tidak pernah berumur panjang.
Pemberontakan ini sekaligus menjadi tantangan bagi pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang berada di tangan Presiden Soekarno yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan Negara Indonesia, karena pada saat itu beberapa pemberontakan sudah terjadi sebelum masa Demokrasi Terpimpin.
Pemberontakan yang muncul saat berlakunya Demokrasi Terpimpin adalah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), pemberontakan ini diawali dengan dibentuknya dewan-dewan dibeberapa daerah seperti Dewan Banteng di Sumatera Barat, Dewan Manguni di Manado, Dewan Gajah di Medan. Dewan-dewan ini dipimpin oleh tokoh-tokoh militer yang kemudian pada tahun 1958 mendirikan Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia.
Untuk meredam pemberontakan ini Presiden Soekarno bekerja sama dengan militer baik angkatan darat, angkatan laut, maupun angkatan udara dengan melaksanakan operasi militer.
Selain gejolak yang muncul di daerah, pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno menyatakan konfrontasi dengan Malaysia. Konflik internasional Indonesia dengan negara satu rumpun ini menyebabkan keresahan semakin merebak di tengah masyarakat. Konfrontasi Indonesia dan Malaysia ini disebabkan oleh Peristiwa klaim Federasi Malaysia atas wilayah Brunei, Sabah, Serawak dan Singapura yang hendak dilakukan penggabungan menjadi Persekutuan Tanah Melayu pada 1961.
Peristiwa ini membuat Indonesia dan negara lain kecewa karena dianggap sebagai proyek Neo-Kapitalisme dan Imperialisme di kawasan Asia Tenggara. Terhadap sikap Indonesia ini Malaysia melakukan demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur. Setelah adanya demonstrasi tersebut melalui Menteri Luar Negeri Soebandrio Indonesia menyatakan permusuhan dengan Malaysia yang memunculkan istilah ‘Ganyang Malaysia’ dan Dwikora (Dwi Komando Rakyat) yang berisi:
·         Perhebat ketahanan revolusi Indonesia
·         Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia
Menurut Presiden Soekarno Dwikora ini merupakan bentuk penjagaan harga diri Indonesia di wilayah Asia Tenggara. Beruntung konfrontasi ini tidak menyebabkan perang kedua negara dan dapat diselesaikan secara politis.

Berakhirnya Masa Demokrasi Terpimpin
Di tengah gejolak perpolitikan masa Demokrasi Terpimpin yang berada di tangan Presiden Soekarno, tidak luput dari perhatian periode ini adalah kondisi perekonomian Indonesia yang mendapat pengaruh besar dari perpolitikan Indonesia saat itu. Perekonomian Indonesia semakin memburuk disebabkan beberapa hal berikut.
·         Penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta
·         Adanya inflasi yang cukup tinggi mencapai 400%
·         Konfrontasi dengan Malaysia
·         Defisit negara mencapai 7,5 Miliar Rupiah
Memburuknya kondisi perekonomian pada masa Demokrasi Terpimpin menyebabkan masyarakat kesulitan memeroleh kebutuhan hidup. Harga-harga melambung, untuk memerolehnya sulit, beras,garam, minyak semua harus melalui antrian panjang karena jumlah yang terbatas. Akibatnya tingkat kemiskinan pun terus meninggi, akhirnya untuk mengatasi permasalahan ekonomi ini pemerintah mengambil langkah-langkah sebagai berikut.
·         Devaluasi mata uang nominal Rp. 500 menjadi Rp. 50
·         Penghapusan nilai mata uang nominal Rp.1000
·         Semua simpanan di bank yang mencapai Rp. 25.000 dibekukan
·         Dilakukan Deklarasi Ekonomi pada tanggal 28 Maret 1963 untuk mencapai ekonomi yang bersifat nasionalis, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme.
Sayangnya langkah-langkah tersebut tidak memberikan hasil yang signifikan bagi kondisi perekonomian saat itu. Masyarakat semakin tidak percaya kepada pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Dengan kondisi demikian, politik kembali memanas, Partai Komunis Indonesia yang saat itu memiliki banyak anggota telah menguasai beberapa organisasi massa yang dibentuk oleh Presiden Soekarno.
Pada masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno memang terlihat dengan Komunis, hal ini dibenarkan dengan konsep Nasakom yang diajukannya. Pada 1965 menggelintir di tengah perpolitikan Demokrasi Terpimpin sebuah isu Dewan Jenderal yang digadang-gadang akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno.
Berdasar pada isu tersebut lahirlah sebuah Gerakan 30 September 1965 yang menyebabkan terbunuhnya enam jenderal senior angkatan darat dari tujuh yang ditargetkan, beruntung Jenderal A.H Nasution berhasil menyelamatkan diri.
Gerakan 30 September 1965 ini mengagetkan Presiden Soekarno yang pada saat itu sedang sakit, untuk stabilitas nasional Presiden Soekarno memerintahkan Mayor Jenderal Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad) untuk melakukan penumpasan gerakan tersebut.
PKI yang dianggap sebagai dalang dari gerakan ini pun ditumpas, ratusan ribu anggota PKI yang berada di Jawa dan Bali ditangkap dan dibunuh (terdapat beragam versi mengenai peristiwa G30S ini). Setelah penumpasan Gerakan 30 September 1965 selesai dilakukan, Mayjen Soeharto mengambil alih kekuasaan berdasarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang diberikan oleh Presiden Soekarno.
Keluarnya Supersemar menjadi titik akhir pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang menjadi penggalan sejarah pelaksanaan demokrasi di Indonesia, sekaligus menutup masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Kehidupan demokrasi Indonesia pun berlanjut dan berganti menjadi Demokrasi Pancasila.
 Masa Orde Baru merupakan masa yang ditandai dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) oleh Presiden Soekarno yang ditujukan kepada Letjen. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).

Supersemar sendiri keluar karena dipicu adanya peristiwa G30S/PKI yang menewaskan jenderal-jenderal Indonesia. Akibat adanya peristiwa tersebut, muncul reaksi rakyat melalui aksi demo massa menentang PKI. Hingga pada 12 Januari 1966 muncul tiga tuntutan rakyat yang biasa disebut Tritura yang isinya : bubarkan PKI, turunkan harga, dan bersihkan kabinet dari G30S/PKI. Presiden Soekarno pun berpidato yang judulnya Nawaksara. Pidato yang berisikan 9 poin penting tersebut tidak satupun yang menyinggung PKI.
Pada tanggal 10 Maret 1966, Presiden Soekarno menemui Pangdam V Jaya, Amir Mahmud untuk menanyakan tentang pengamanan sidang paripurna yang akan dilaksanakan tanggal 11
Maret 1966. Amir Mahmud pun menjanjikan keadaan yang baik. Namun, pada hari dilaksanakannya sidang paripurna ada serangan dari luar gedung yang merupakan pasukan mahasiswa yang biasa disebut Pasukan Liar. Pada sidang tersebut, seluruh peserta hadir kecuali Soeharto. Pada saat berpidato dalam sidang, Presiden Soekarno mendapat memo yang berisikan SOS bahwa istana telah dikepung. Akhirnya Presiden Soekarno dan Kol. Sobur serta seorang lagi segera pergi ke Bogor menggunakan helikopter. Tiga orang jenderal lainnya ( Amir Mahmud, Basuki Rahmat, dan M. Yusuf) yang merasa harus mengamankan presiden segera menyusul tetapi mereka harus meminta izin kepada pimpinan mereka pada saat itu, yaitu Soeharto. Beliau mengizinkan mereka dengan syarat jika ingin diamankan, harus adasurat pernyataan. Akhirnya 3 orang jenderal tersebut itu menemui Presiden Soekarno dan membuat surat pernyataan dalam perjalanan kembali ke Jakarta di dalam mobil pada malam hari itu. Setelah dibaca, ternyata surat tersebut berisikan penyerahan kekuasaan.

Hingga pada 20 Februari 1967, Presiden Soekarno dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan secara resmi kepada Soeharto dengan membuat memo pengunduran diri sebagai presiden RI. Memo tersebut yang kemudian dijadikan landasan hukum sidang istimewa MPRS (7-12 Maret 1967). Sidang tersebut menghasilkan Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 yang isinya pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno atas segala kekuasaan pemerintah negara dan mengangkat pengemban supersemar sebagai presiden. Dasar pengangkatan Soeharto sebagai pengemban Supersemar adalah hasil dari sidang umum, Tap MPRS No. IX/MPRS/1966.
Akhirnya pada tanggal 12 Maret 1967, Soeharto diambil sumpahnya dan dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Dengan pelantikan tersebut, maka secara resmi terjadi pergantian pemerintahan dari masa Orde Lama (Demokrasi Terpimpin) ke pemerintahan yang baru (masa Orde Baru).

Belum ada Komentar untuk "Demokrasi Liberal 1950-1959"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel